Monday, September 26, 2016

The Meaning of Valentine? (Cerpen dari buku Antologi Cerpen: "Cinta Kok Cuma Sebatas Coklat?") #titleEdited

Kicauan burung ketika matahari terbit menggema di sepenjuru langit. Angin musim dingin bertiup perlahan, menyusup masuk melalui jendela, menyentuh tubuhku yang bergidik kecil. Bunyi gesekan ranting pinus membuat mataku terbuka.
Aku menatap deretan angka di lembar kalender. Sekarang tanggal 14 Februari, ya? Tidak ada yang istimewa hari ini, pikirku.
Aku bangkit dari kasur menuju kamar mandi, bersiap-siap untuk pergi ke tempat paling menakjubkan yang pernah kukunjungi, Tokyo University. Hingga sekarang bahkan aku masih tak percaya aku bisa menuntut ilmu di kampus ternama itu. Sebuah anugerah yang tak ternilai ketika aku menerima kabar luar biasa hari itu. Aku melompat dari kasur, berlari memeluk Ayah dan Ibuku. Menangis bahagia bersama mereka.
Pantulan di cermin menampilkan diriku yang berlinang air mata. Mengenang kejadian itu membuatku merindukan Ayah dan Ibu. Mereka sedang apa di rumah? Aku berharap bisa melihat mereka ketika terbangun dari tidurku. Tapi itu tak mungkin, bukan?
Butiran salju berjatuhan dari langit. Pemandangan yang begitu indah yang takkan kudapati ketika berada di Indonesia. Ku kencangkan simpul tali sepatuku sebelum melangkah ke halaman. Angin musim dingin kembali menyapaku, dingin menusuk hingga ke tulang meski aku sudah memakai baju hangat, sweter dan mantel.
“Ohayou, Mira-chan.” sapa seseorang saat aku mengunci pagar depan. Aku tersenyum, sahabatku sudah datang. Tepat waktu seperti biasa.
“Ohayou mo, Naomi-chan.”
Kami berjalan berdampingan menuju kampus. Naomi membicarakan hari valentine dengan begitu bersemangat. Ia menunjukkan sekotak cokelat dengan pita berwarna biru muda yang ia siapkan untuk diberikan pada cowok istimewa-nya.
“Kau sudah menyiapkan cokelat untuk cowok istimewa-mu?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan Naomi. Aku tau dia akan menanyakan hal ini. Tapi apa dia bisa menerima alasanku untuk tidak merayakan hari Valentine?
“Aku tak merayakan hari Valentine, Naomi. Kau sudah tau itu, kan?”
Ia mengembuskan napas berat, “Tapi, Mira-chan... kau akan dapat masalah kalau tak memberikan cokelat pada seseorang di hari Valentine. Ini tradisi.”
Suara Naomi sarat akan kekhawatiran ketika berbicara. Aku hanya bisa tersenyum menyadari kebaikan hatinya untuk memperingatkanku.
Tokyo University penuh dengan segala macam hal berbau Valentine ketika aku tiba di sana. Dinding yang dihiasi kertas krep berwarna merah muda dan biru muda. Balon-balon berbentuk hati di sudut-sudut koridor.
Aku mencoba mengacuhkan keramaian yang ada di setiap koridor yang kulewati. Naomi melambai ketika kami harus berpisah karena perbedaan jadwal kuliah. Matanya masih menyiratkan kekhawatiran.
Saat tiba di kelas Kalkulus, aku mendapati ruangan telah penuh. Hampir semua kursi telah terisi dengan pasangan-pasangan yang sedang asyik mengobrol dan tak menghiraukan sekitarnya. Sebagian kaum hawa nampak telah memberikan sekotak cokelat kepada pria lawan bicaranya.
Aku bergidik sebelum menemukan kursi tak berpenghuni di bagian sudut kelas. Tak lama kemudian, Takuma-sensei memasuki kelas dengan wajah sumringah. Ia menuliskan sederet rumus di papan tulis, menenggelamkan pikiranku ke dalam lautan angka, membuatku melupakan apa yang sudah kulihat sebelumnya.
Hari ini aku benar-benar merasa tidak tenang. Semua kelas yang kuhadiri menampakkan hal yang nyaris sama seperti di kelas Kalkulus. Laki-laki dan perempuan duduk berpasang-pasangan. Di setiap koridor ada saja pasangan kekasih yang mengobrol sambil berpegangan tangan. Entah sudah berapa kali hari ini aku bergidik karena melihat hal-hal semacam itu.
Naomi dan aku bertemu di depan gerbang saat pulang kuliah. Salju turun semakin deras dan udara pun semakin dingin dan kering. Aku menggigil ketika berjalan berdampingan dengannya.
“Bagaimana misimu hari ini, Naomi-chan?” tahnyaku disela gigi yang bergemeletukan.
“Sukses. Aku berhasil menaruh cokelat itu di loker sepatunya. Aku terlalu gugup jika harus menyerahkannya secara langsung.” Naomi tersenyum bahagia, pipinya merona merah ketika bicara. Aku ikut senang jika ia senang.
Keesokan harinya cuaca Tokyo semakin dingin. Salju menutupi jalanan dan halaman. Segala hal nampak berwarna putih ketika aku menginjakkan kaki di teras. Ranting pinus bergoyang-goyang ditiup angin. Prakiraan cuaca pagi ini menyatakan akan ada badai salju di sini. Itu membuatku sedikit was-was.
“Wajahmu pucat.” ucap Naomi. Ia menatapku lekat-lekat. Kedua tangannya memegang pipiku.
“Jangan khawatir, Naomi-chan.” sahutku. “Aku baik-baik saja.”
Aku berjalan ke loker tanpa menghiraukan tatapannya yang seolah menganggapku seperti manusia paling rapuh yang pernah ia kenal. Tanganku memutar kombinasi angka, membuka kuncinya. Loker berderit terbuka dan sesuatu menyita perhatianku.
Selembar kertas dengan tulisan bertinta merah berbunyi: “Welcome to Black Day!” membuatku tersentak keras. Tanpa kusadari, Naomi telah memegang kedua bahuku. Ia terkesiap pelan melihat kertas itu. Matanya membelalak.
“Naomi, kau kenapa...?”
Belum selesai aku melontarkan pertanyaan, tiba-tiba seseorang menarik tubuhku menjauh darinya. Tanpa bisa melihat wajah orang itu aku terhuyung ke sudut koridor, menginjak sesuatu yang licin dan terpeleset.
“Halo, cewek pendiam yang tak merayakan hari Valentine...” seru sebuah suara alto di dekatku. Aku mengenalinya sebagai Hana, gadis populer di kampus.
“Welcome to Black Day!” ucap gadis yang lain.
Tanpa sempat mengucapkan apapun, mereka mengguyurku dengan sekantong tepung terigu dan memecahkan telur tepat di kepalaku. Aku tertunduk dan diam, memikirkan sebuah kesalahan yang mungkin saja membuatku diperlakukan seperti sekarang.
Kuberanikan diri menatap wajah mereka. Tak hanya satu-dua orang, tapi belasan orang mengerumuniku. Memandangku dengan tatapan menghina. Seolah aku adalah seonggok sampah tak berguna.
“Miraaa...!”
Suara Naomi membahana di sepenjuru ruangan. Ia menerobos gerombolan orang dan memelukku erat. Memberikanku selembar sapu tangan yang segera kugunakan untuk menyeka wajah.
“Naomi! Buat apa kamu nolongin dia? Dia ngga ngasih cokelat ke cowok manapun! Dia pantes di-bully.
Naomi bangkit dengan amarah membakar wajahnya. Aku tak berhasil menariknya untuk menghentikan pertengkaran yang sedetik lagi akan terjadi.
“Kau pikir kamu siapa, Hana? Memangnya salah kalau Mira tak memberi cokelat pada cowok manapun di kampus ini? Salah kalau dia tak merayakan hari Valentine?”
“Salah!” teriak Hana berang. “Memberi cokelat itu tradisi di sini. Meski dia hanya murid pindahan. Ia tetap harus melakukannya juga. Jika tidak, ia pantas di-bully!”
Aku bangkit. Mengetahui permasalahan yang terjadi di sini membuatku berani membuka mulut untuk membela diri.
“Hana dan semuanya, bisakah kalian mendngar penjelasanku sebentar?”
Mereka semua diam. Ekspresi mereka melunak. Aku melanjutkan.
“Maaf sebelumnya, ini tentang keyakinan. Aku berbeda dari kalian. Aku seorang Muslim, dan seorang muslim dilarang keras untuk merayakan hari Valentine. Itu budaya kalian, dan orang-orang non-muslim lainnya. Dan bukan budaya kami, umat Muslim.”
Mereka saling berbisik dan saling pandang. Ada yang mengangguk, mengerutkan kening, menggeleng dan sebagainya. Aku berusaha menjelaskan alasanku sesingkat dan semudah mungkin untuk mereka pahami.
“Coba kalian bayangkan jika kalian berada di posisiku. Diseret paksa dan di-bully di depan banyak orang. Bagaimana rasanya? Kaget? Malu? Marah?”
Sebagian besar dari mereka mengangguk mengiyakan.
“Kalian tau persis hal itu. Lalu kenapa kalian tak menghentikan ini semua? Mencoba mengerti orang lain yang berbeda keyakinan dengan kalian dan menghormati segala hal yang diyakininya. Itu susah, ya, untuk dilakukan?”
Sekali lagi semuanya terdiam. Keheningan menggantung di udara. Kemudian seseorang bergerak mendekatiku dan membungkuk perlahan.
“Maafkan aku.” ucap Hana singkat. Aku mengangguk ketika ia menghilang di balik kerumunan.
Detik berikutnya satu-persatu dari semua orang yang ada di lorong membungkuk dan meminta maaf kepadaku. Sudut bibirku tertarik membentuk senyuman. Di sampingku, Naomi ikut tersenyum dan memelukku erat.