Kicauan burung ketika matahari terbit
menggema di sepenjuru langit. Angin musim dingin bertiup perlahan, menyusup
masuk melalui jendela, menyentuh tubuhku yang bergidik kecil. Bunyi gesekan
ranting pinus membuat mataku terbuka.
Aku menatap deretan angka di lembar
kalender. Sekarang tanggal 14 Februari, ya? Tidak ada yang istimewa hari ini,
pikirku.
Aku bangkit dari kasur menuju kamar
mandi, bersiap-siap untuk pergi ke tempat paling menakjubkan yang pernah
kukunjungi, Tokyo University. Hingga sekarang bahkan aku masih tak percaya aku
bisa menuntut ilmu di kampus ternama itu. Sebuah anugerah yang tak ternilai
ketika aku menerima kabar luar biasa hari itu. Aku melompat dari kasur, berlari
memeluk Ayah dan Ibuku. Menangis bahagia bersama mereka.
Pantulan di cermin menampilkan diriku
yang berlinang air mata. Mengenang kejadian itu membuatku merindukan Ayah dan
Ibu. Mereka sedang apa di rumah? Aku berharap bisa melihat mereka ketika
terbangun dari tidurku. Tapi itu tak mungkin, bukan?
Butiran salju berjatuhan dari langit.
Pemandangan yang begitu indah yang takkan kudapati ketika berada di Indonesia.
Ku kencangkan simpul tali sepatuku sebelum melangkah ke halaman. Angin musim
dingin kembali menyapaku, dingin menusuk hingga ke tulang meski aku sudah
memakai baju hangat, sweter dan mantel.
“Ohayou, Mira-chan.” sapa seseorang
saat aku mengunci pagar depan. Aku tersenyum, sahabatku sudah datang. Tepat
waktu seperti biasa.
“Ohayou mo, Naomi-chan.”
Kami berjalan berdampingan menuju kampus.
Naomi membicarakan hari valentine dengan begitu bersemangat. Ia menunjukkan
sekotak cokelat dengan pita berwarna biru muda yang ia siapkan untuk diberikan
pada cowok istimewa-nya.
“Kau sudah menyiapkan cokelat untuk cowok istimewa-mu?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan
Naomi. Aku tau dia akan menanyakan hal ini. Tapi apa dia bisa menerima alasanku
untuk tidak merayakan hari Valentine?
“Aku tak merayakan hari Valentine,
Naomi. Kau sudah tau itu, kan?”
Ia mengembuskan napas berat, “Tapi,
Mira-chan... kau akan dapat masalah kalau tak memberikan cokelat pada seseorang
di hari Valentine. Ini tradisi.”
Suara Naomi sarat akan kekhawatiran
ketika berbicara. Aku hanya bisa tersenyum menyadari kebaikan hatinya untuk
memperingatkanku.
Tokyo University penuh dengan segala
macam hal berbau Valentine ketika aku tiba di sana. Dinding yang dihiasi kertas
krep berwarna merah muda dan biru muda. Balon-balon berbentuk hati di
sudut-sudut koridor.
Aku mencoba mengacuhkan keramaian yang
ada di setiap koridor yang kulewati. Naomi melambai ketika kami harus berpisah
karena perbedaan jadwal kuliah. Matanya masih menyiratkan kekhawatiran.
Saat tiba di kelas Kalkulus, aku
mendapati ruangan telah penuh. Hampir semua kursi telah terisi dengan
pasangan-pasangan yang sedang asyik mengobrol dan tak menghiraukan sekitarnya.
Sebagian kaum hawa nampak telah memberikan sekotak cokelat kepada pria lawan
bicaranya.
Aku bergidik sebelum menemukan kursi
tak berpenghuni di bagian sudut kelas. Tak lama kemudian, Takuma-sensei
memasuki kelas dengan wajah sumringah. Ia menuliskan sederet rumus di papan
tulis, menenggelamkan pikiranku ke dalam lautan angka, membuatku melupakan apa
yang sudah kulihat sebelumnya.
Hari ini aku benar-benar merasa tidak
tenang. Semua kelas yang kuhadiri menampakkan hal yang nyaris sama seperti di
kelas Kalkulus. Laki-laki dan perempuan duduk berpasang-pasangan. Di setiap
koridor ada saja pasangan kekasih yang mengobrol sambil berpegangan tangan.
Entah sudah berapa kali hari ini aku bergidik karena melihat hal-hal semacam itu.
Naomi dan aku bertemu di depan gerbang
saat pulang kuliah. Salju turun semakin deras dan udara pun semakin dingin dan
kering. Aku menggigil ketika berjalan berdampingan dengannya.
“Bagaimana misimu hari ini,
Naomi-chan?” tahnyaku disela gigi yang bergemeletukan.
“Sukses. Aku berhasil menaruh cokelat
itu di loker sepatunya. Aku terlalu gugup jika harus menyerahkannya secara
langsung.” Naomi tersenyum bahagia, pipinya merona merah ketika bicara. Aku
ikut senang jika ia senang.
Keesokan harinya cuaca Tokyo semakin
dingin. Salju menutupi jalanan dan halaman. Segala hal nampak berwarna putih
ketika aku menginjakkan kaki di teras. Ranting pinus bergoyang-goyang ditiup
angin. Prakiraan cuaca pagi ini menyatakan akan ada badai salju di sini. Itu
membuatku sedikit was-was.
“Wajahmu pucat.” ucap Naomi. Ia
menatapku lekat-lekat. Kedua tangannya memegang pipiku.
“Jangan khawatir, Naomi-chan.” sahutku.
“Aku baik-baik saja.”
Aku berjalan ke loker tanpa
menghiraukan tatapannya yang seolah menganggapku seperti manusia paling rapuh
yang pernah ia kenal. Tanganku memutar kombinasi angka, membuka kuncinya. Loker
berderit terbuka dan sesuatu menyita perhatianku.
Selembar kertas dengan tulisan bertinta
merah berbunyi: “Welcome to Black Day!” membuatku
tersentak keras. Tanpa kusadari, Naomi telah memegang kedua bahuku. Ia
terkesiap pelan melihat kertas itu. Matanya membelalak.
“Naomi, kau kenapa...?”
Belum selesai aku melontarkan
pertanyaan, tiba-tiba seseorang menarik tubuhku menjauh darinya. Tanpa bisa
melihat wajah orang itu aku terhuyung ke sudut koridor, menginjak sesuatu yang
licin dan terpeleset.
“Halo, cewek pendiam yang tak merayakan
hari Valentine...” seru sebuah suara alto di dekatku. Aku mengenalinya sebagai
Hana, gadis populer di kampus.
“Welcome to Black Day!” ucap gadis yang
lain.
Tanpa sempat mengucapkan apapun, mereka
mengguyurku dengan sekantong tepung terigu dan memecahkan telur tepat di
kepalaku. Aku tertunduk dan diam, memikirkan sebuah kesalahan yang mungkin saja
membuatku diperlakukan seperti sekarang.
Kuberanikan diri menatap wajah mereka.
Tak hanya satu-dua orang, tapi belasan orang mengerumuniku. Memandangku dengan
tatapan menghina. Seolah aku adalah seonggok sampah tak berguna.
“Miraaa...!”
Suara Naomi membahana di sepenjuru
ruangan. Ia menerobos gerombolan orang dan memelukku erat. Memberikanku
selembar sapu tangan yang segera kugunakan untuk menyeka wajah.
“Naomi! Buat apa kamu nolongin dia? Dia
ngga ngasih cokelat ke cowok manapun! Dia pantes di-bully.”
Naomi bangkit dengan amarah membakar
wajahnya. Aku tak berhasil menariknya untuk menghentikan pertengkaran yang
sedetik lagi akan terjadi.
“Kau pikir kamu siapa, Hana? Memangnya
salah kalau Mira tak memberi cokelat pada cowok manapun di kampus ini? Salah
kalau dia tak merayakan hari Valentine?”
“Salah!” teriak Hana berang. “Memberi
cokelat itu tradisi di sini. Meski dia hanya murid pindahan. Ia tetap harus
melakukannya juga. Jika tidak, ia pantas di-bully!”
Aku bangkit. Mengetahui permasalahan
yang terjadi di sini membuatku berani membuka mulut untuk membela diri.
“Hana dan semuanya, bisakah kalian
mendngar penjelasanku sebentar?”
Mereka semua diam. Ekspresi mereka
melunak. Aku melanjutkan.
“Maaf sebelumnya, ini tentang
keyakinan. Aku berbeda dari kalian. Aku seorang Muslim, dan seorang muslim
dilarang keras untuk merayakan hari Valentine. Itu budaya kalian, dan
orang-orang non-muslim lainnya. Dan bukan budaya kami, umat Muslim.”
Mereka saling berbisik dan saling
pandang. Ada yang mengangguk, mengerutkan kening, menggeleng dan sebagainya. Aku
berusaha menjelaskan alasanku sesingkat dan semudah mungkin untuk mereka
pahami.
“Coba kalian bayangkan jika kalian
berada di posisiku. Diseret paksa dan di-bully
di depan banyak orang. Bagaimana rasanya? Kaget? Malu? Marah?”
Sebagian besar dari mereka mengangguk
mengiyakan.
“Kalian tau persis hal itu. Lalu kenapa
kalian tak menghentikan ini semua? Mencoba mengerti orang lain yang berbeda
keyakinan dengan kalian dan menghormati segala hal yang diyakininya. Itu susah,
ya, untuk dilakukan?”
Sekali lagi semuanya terdiam.
Keheningan menggantung di udara. Kemudian seseorang bergerak mendekatiku dan
membungkuk perlahan.
“Maafkan aku.” ucap Hana singkat. Aku
mengangguk ketika ia menghilang di balik kerumunan.
Detik
berikutnya satu-persatu dari semua orang yang ada di lorong membungkuk dan
meminta maaf kepadaku. Sudut bibirku tertarik membentuk senyuman. Di sampingku,
Naomi ikut tersenyum dan memelukku erat.